Rabu, 24 Desember 2025

Tugas Mandiri 15 - Ethical career Roadmap

 Mind Map Karier Insinyur Beretika


Tugas Mandiri 14 - Identifikasi Potensi Simbiosis di Lingkungan Sekitar

 

Identifikasi Potensi Simbiosis
di Lingkungan Sekitar


1. Lokasi Pengamatan

Pengamatan dilakukan di Kantin Kampus, yang terdiri dari beberapa tenant makanan dan minuman seperti warung nasi, kedai kopi, dan penjual makanan ringan. Aktivitas operasional berlangsung setiap hari dan menghasilkan berbagai jenis limbah organik maupun non-organik.

(Foto situasi kantin dapat dilampirkan pada bagian ini)

2. Identifikasi Masalah Limbah

Berdasarkan hasil observasi, limbah yang paling banyak menumpuk dan belum terkelola dengan baik adalah limbah organik dari sisa makanan dan ampas minuman. Limbah tersebut umumnya langsung dibuang ke tempat sampah umum tanpa pemilahan, sehingga menimbulkan bau tidak sedap dan potensi pencemaran lingkungan.

3. Inventarisasi Limbah (Resource Mapping)

Jenis Limbah Sumber Perkiraan Volume Kondisi Saat Ini
Sisa makanan (nasi & lauk) Tenant makanan ±15 kg/hari Dibuang ke tempat sampah umum
Ampas kopi Kedai kopi kantin ±8–10 kg/hari Dibiarkan basah dan dibuang
Air buangan AC Gedung sekitar kantin ±100 liter/hari Dialirkan ke selokan

4. Perancangan Simbiosis Sederhana

Berdasarkan jenis dan karakteristik limbah yang ditemukan, berikut adalah rancangan simbiosis sederhana yang berpotensi diterapkan di lingkungan kampus:

Diagram Alur Simbiosis:

  • Sisa makanan kantinPeternakan maggot (BSF) → maggot digunakan sebagai pakan ikan atau unggas
  • Ampas kopiKebun kampus / komunitas jamur → media tanam jamur atau kompos bernutrisi tinggi
  • Air buangan ACPenyiraman tanaman kampus → penghematan air bersih

5. Manfaat Simbiosis

Jika konsep simbiosis ini diterapkan, manfaat yang dapat diperoleh antara lain:

  • Mengurangi volume sampah organik yang dibuang ke TPA
  • Mencegah bau dan kondisi becek di area belakang kantin
  • Menghemat biaya pengangkutan dan pengelolaan sampah
  • Memberikan nilai ekonomi dari limbah yang sebelumnya tidak bernilai

Tugas Identifikasi Potensi Simbiosis – Skala Mikro (Lingkungan Sekitar)

Tugas Terstruktur 14 - Pemetaan Simbiosis Industri

 

Pemetaan Jaringan Simbiosis Industri
(Eco-Industrial Network Map)


Bagian I. Deskripsi Aktor Industri

Kawasan Industri Ekologis (Eco-Industrial Park) fiktif ini dirancang untuk mengintegrasikan beberapa industri yang saling terhubung melalui pertukaran material, energi, dan air guna meningkatkan efisiensi sumber daya dan mengurangi dampak lingkungan.

  • Pembangkit Listrik
    Input: Batubara / Biomassa, Air pendingin
    Output: Listrik, Uap panas (steam), Abu sisa pembakaran
  • Pabrik Kertas
    Input: Serat kayu, Air proses, Energi panas
    Output: Kertas, Lumpur limbah (sludge), Air limbah terolah
  • Pabrik Gula
    Input: Tebu, Air, Energi
    Output: Gula, Ampas tebu (bagasse), Air limbah organik
  • Pabrik Pupuk Organik
    Input: Limbah organik, Air proses
    Output: Pupuk organik padat dan cair

Bagian II. Eco-Industrial Network Map

Diagram berikut menunjukkan hubungan simbiosis antar industri dengan kode warna aliran sumber daya: Merah = Energi, Biru = Air, Hijau = Material.

Pembangkit Listrik Pabrik Kertas Pabrik Gula Pabrik Pupuk Organik Uap Panas Bagasse Lumpur Kertas Air Terolah

Keterangan:
● Merah = Energi   ● Biru = Air   ● Hijau = Material

Bagian III. Tabel Sinergi Industri

Dari Menuju Jenis Sumber Daya Manfaat
Pembangkit Listrik Pabrik Kertas Uap Panas (Energi) Mengurangi konsumsi boiler mandiri
Pabrik Gula Pabrik Pupuk Bagasse Bahan baku pupuk organik
Pabrik Kertas Pabrik Pupuk Lumpur Limbah Mengurangi limbah ke TPA
Pabrik Kertas Pabrik Gula Air Terolah Menghemat air baku

Bagian IV. Analisis Dampak dan Tantangan

Implementasi jaringan simbiosis industri ini secara kualitatif mampu mengurangi pembuangan limbah hingga ±30–40% serta menekan konsumsi energi primer dan air bersih di masing-masing industri.

Selain manfaat lingkungan, integrasi ini juga berpotensi menurunkan biaya operasional dan meningkatkan ketahanan pasokan energi dan material.

Tantangan utama dalam implementasi jaringan ini adalah penurunan kualitas energi (misalnya suhu uap panas) jika jarak antar industri terlalu jauh, sehingga diperlukan perencanaan tata letak kawasan yang optimal.

3 Refrensi Buku:

1. Graedel, T. E., & Allenby, B. R. (2003). Industrial Ecology. Prentice Hall.

→ Referensi utama konsep ekologi industri dan simbiosis industri.

2. Chertow, M. R. (2000). Industrial Symbiosis: Literature and Taxonomy. Annual Review of Energy and the Environment, 25, 313–337.

→ Jurnal klasik tentang konsep dan model simbiosis industri.

3. Sulaiman, F. (2021). Desain Simbiosis Industri dalam Kawasan Industri Menuju Eco-Industrial Park. UNTIRTA Press.

→ Referensi lokal Indonesia untuk pengembangan Eco-Industrial Park.


Laporan Pemetaan Simbiosis Industri – Eco-Industrial Park

Tugas Mandiri 13 - Audit Energi Mandiri pada Fasilitas Produksi Sederhana

 

Audit Energi Mandiri pada Fasilitas Produksi Sederhana

(Studi Kasus: Kantin Usaha Kuliner Skala Kecil)


1. Deskripsi Fasilitas

Audit energi mandiri ini dilakukan pada sebuah kantin usaha kuliner skala kecil yang beroperasi di lingkungan sekitar kampus/permukiman. Kantin ini memproduksi makanan siap saji setiap hari dengan waktu operasional rata-rata 12 jam per hari atau sekitar 84 jam per minggu.

Aktivitas utama meliputi proses memasak, menjaga makanan tetap hangat, penyimpanan bahan makanan, serta penerangan area kerja. Energi yang digunakan berasal dari listrik PLN dan bahan bakar LPG.

(Foto fasilitas dapat dilampirkan pada bagian ini)

2. Inventarisasi Peralatan Konsumsi Energi

Berdasarkan hasil observasi langsung, ditemukan lima peralatan utama yang mengonsumsi energi secara rutin dalam satu minggu operasional.

No Peralatan Daya (W) Durasi (jam/minggu) Energi (kWh/MJ)
1 Magic Com Kapasitas Besar 300 W 84 jam 25,2 kWh
2 Kulkas 150 W 168 jam 25,2 kWh
3 Lampu LED (5 unit) 50 W 60 jam 3,0 kWh
4 Kipas Angin 80 W 60 jam 4,8 kWh
5 Kompor Gas (LPG) - ±20 jam 180 MJ

3. Perhitungan Total Konsumsi Energi

3.1 Total Konsumsi Energi Listrik

  • Magic Com = 25,2 kWh
  • Kulkas = 25,2 kWh
  • Lampu LED = 3,0 kWh
  • Kipas Angin = 4,8 kWh

Total Konsumsi Listrik = 58,2 kWh/minggu

3.2 Konversi Energi ke Mega Joule (MJ)

Konversi dilakukan agar seluruh sumber energi berada dalam satuan yang sama.

  • Listrik: 58,2 kWh × 3,6 MJ = 209,5 MJ
  • LPG: 180 MJ

Total Konsumsi Energi Keseluruhan = 389,5 MJ/minggu

4. Identifikasi Titik Kritis (Energy Hotspot)

Berdasarkan proporsi konsumsi energi, peralatan dengan konsumsi energi tertinggi adalah Magic Com dan Kulkas, masing-masing sebesar 25,2 kWh per minggu.

Magic Com menjadi titik kritis utama karena meskipun dayanya relatif sedang, alat ini menyala hampir sepanjang waktu operasional dalam mode pemanas.

Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi tinggi tidak selalu disebabkan oleh daya besar, tetapi juga oleh durasi penggunaan yang panjang.

5. Usulan Perbaikan Konsumsi Energi

Untuk mengurangi konsumsi energi pada titik kritis tersebut tanpa menurunkan kualitas produksi, rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:

  • Menggunakan wadah nasi berisolasi termal (termos nasi) setelah nasi matang, sehingga Magic Com dapat dimatikan.
  • Mengatur jadwal memasak agar tidak terlalu lama berada pada mode pemanas.
  • Melakukan evaluasi berkala terhadap kebiasaan penggunaan peralatan listrik.

Laporan Audit Energi Mandiri – Skala Mikro

Tugas Terstruktur 13 - Analisis Aliran Energi dan jejak Karbon pada Proses Produksi Mikro

 

Analisis Aliran Energi dan Jejak Karbon
pada Proses Produksi Usaha Mikro


A. Profil Unit Usaha dan Diagram Alir

Unit usaha yang dianalisis dalam tugas ini adalah Usaha Laundry Kecil yang melayani pencucian pakaian rumah tangga. Proses produksi pada usaha ini memanfaatkan energi listrik dan bahan bakar gas dalam kegiatan operasional sehari-hari.

Alur Proses Produksi:

  • Penerimaan pakaian kotor dari pelanggan
  • Pencucian menggunakan mesin cuci listrik
  • Pengeringan menggunakan mesin pengering
  • Penyetrikaan menggunakan setrika listrik
  • Pengemasan dan pengambilan oleh pelanggan

Titik masuk energi utama terdapat pada mesin cuci, mesin pengering, setrika, serta lampu penerangan area kerja.

B. Identifikasi Sumber dan Intensitas Energi

Sumber Energi Jenis Energi Estimasi Pemakaian/Bulan
Listrik PLN Direct Energy 450 kWh
LPG Direct Energy 6 tabung LPG 3 kg

C. Perhitungan Dasar (Analisis Kuantitatif)

1. Konversi Energi ke Mega Joule (MJ)

  • Listrik: 450 kWh × 3,6 MJ = 1.620 MJ
  • LPG: 18 kg × 46 MJ = 828 MJ

Total Konsumsi Energi: 2.448 MJ/bulan

2. Intensitas Energi

Jika dalam satu bulan usaha mencuci rata-rata 900 kg pakaian, maka intensitas energi adalah:

2.448 MJ ÷ 900 kg = 2,72 MJ/kg pakaian

3. Estimasi Jejak Karbon

  • Listrik: 450 kWh × 0,85 kg CO₂ = 382,5 kg CO₂
  • LPG: 18 kg × 2,9 kg CO₂ = 52,2 kg CO₂

Total Emisi Karbon: ± 434,7 kg CO₂/bulan

D. Analisis Efisiensi dan Rekomendasi

Dari hasil observasi dan perhitungan, ditemukan beberapa potensi kehilangan energi, seperti mesin yang tetap menyala saat tidak digunakan dan panas setrika yang terbuang ke lingkungan.

Rekomendasi Efisiensi Energi:

  1. Mengoperasikan mesin cuci dan pengering hanya saat muatan penuh.
  2. Mengganti lampu konvensional dengan lampu LED hemat energi.
  3. Menjadwalkan waktu menyetrika agar setrika tidak sering hidup-mati.

Disusun sebagai tugas Analisis Energi dan Jejak Karbon – Mahasiswa Teknik/Manajemen Industri

Tugas Mandiri 12 - Mengamati Perilaku Konsumsi Tidak Berkelanjutan

Mengamati Perilaku Konsumsi Tidak Berkelanjutan (Studi Observasi di Kantin Kampus)

1. Pendahuluan

Konsumsi sehari-hari memiliki peran besar dalam menentukan keberlanjutan lingkungan. Aktivitas sederhana seperti membeli makanan atau minuman dapat menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan apabila dilakukan secara tidak bijak. Oleh karena itu, pengamatan terhadap perilaku konsumsi di lingkungan sekitar, khususnya di kantin kampus, menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran akan praktik konsumsi berkelanjutan.

Tujuan dari observasi ini adalah untuk mengidentifikasi praktik konsumsi tidak berkelanjutan yang sering terjadi, menganalisis penyebabnya, serta merumuskan solusi praktis yang dapat diterapkan oleh konsumen maupun pengelola kantin.

2. Lokasi dan Metode Pengamatan
Lokasi Pengamatan: Kantin Kampus
Waktu Pengamatan: Jam makan siang (± 45 menit)
Metode: Observasi langsung terhadap perilaku konsumen (mahasiswa dan staf) tanpa intervensi
Alat: Buku catatan dan pengamatan visual

3. Hasil Pengamatan

Berdasarkan observasi langsung yang dilakukan di kantin kampus pada jam makan siang, ditemukan berbagai praktik konsumsi yang tergolong tidak berkelanjutan. Perilaku-perilaku ini umumnya dilakukan secara berulang dan telah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar konsumen. Berikut adalah rangkuman hasil pengamatan terhadap lima contoh perilaku konsumsi tidak berkelanjutan yang paling sering terjadi.

No Perilaku Konsumsi Tidak Berkelanjutan Frekuensi Kejadian Dampak Negatif Utama
1 Membeli air mineral dalam botol plastik sekali pakai dan langsung membuangnya setelah sekali minum. Sangat Sering Penumpukan sampah plastik sekali pakai yang sulit terurai.
2 Penggunaan kemasan styrofoam dan kantong plastik untuk makanan take away. Sangat Sering Limbah kemasan sekali pakai yang berpotensi mencemari tanah dan air.
3 Sisa makanan tidak dihabiskan dan langsung dibuang ke tempat sampah. Sering Pemborosan makanan dan sumber daya produksi pangan.
4 Konsumen tidak membawa wadah atau alat makan sendiri meskipun sering makan di kantin. Sering Peningkatan volume sampah kemasan sekali pakai.
5 Membeli makanan secara berlebihan akibat lapar mata atau promo. Sering Peningkatan limbah makanan dan pemborosan biaya.

4. Analisis Penyebab Perilaku Tidak Berkelanjutan
Dari lima perilaku yang diamati, terdapat tiga perilaku paling sering terjadi, yaitu penggunaan botol plastik sekali pakai, kemasan makanan sekali pakai, dan pemborosan makanan. Beberapa faktor penyebab utama adalah:
1. Kemudahan dan Kepraktisan
Konsumen cenderung memilih opsi yang paling praktis, seperti membeli minuman kemasan daripada membawa tumbler sendiri.
2. Kurangnya Fasilitas Alternatif
Tidak tersedianya stasiun isi ulang air minum atau pilihan kemasan ramah lingkungan membuat konsumen tidak memiliki banyak pilihan.
3. Kebiasaan dan Rendahnya Kesadaran Lingkungan
Banyak konsumen belum menyadari dampak jangka panjang dari perilaku konsumsi sehari-hari terhadap lingkungan.

5. Rekomendasi Solusi Praktis
Berdasarkan hasil observasi dan analisis, berikut tiga solusi praktis yang dapat diterapkan:
1. Penyediaan Fasilitas Ramah Lingkungan
Pengelola kantin dapat menyediakan dispenser air minum gratis dan mendorong penggunaan tumbler.
2. Insentif untuk Konsumen Berkelanjutan
Pemberian potongan harga bagi mahasiswa yang membawa wadah makan sendiri dapat mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai.
3. Edukasi dan Kampanye Kesadaran
Pemasangan poster atau infografis tentang dampak sampah plastik dan pemborosan makanan di area kantin.

6. Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan di kantin kampus, dapat disimpulkan bahwa praktik konsumsi tidak berkelanjutan masih sering terjadi dan dipengaruhi oleh faktor kenyamanan, kebiasaan, serta keterbatasan fasilitas. Dengan kolaborasi antara konsumen dan pengelola kantin, perilaku konsumsi berkelanjutan dapat ditingkatkan melalui solusi sederhana namun berdampak nyata.

Tugas Terstruktur 12 - Infografis Konsumen Berkelanjutan

3 Langkah Nyata untuk Menjadi Konsumen Berkelanjutan

INFOGRAFIS:



Tugas Mandiri 11 - Reverse Logistics

 Reverse Logistics Limbah Baterai Smartphone Di Indonesia

1. Pendahuluan (Pemilihan Produk dan Alasan)

Pertumbuhan penggunaan smartphone di Indonesia meningkat sangat pesat seiring digitalisasi aktivitas masyarakat. Salah satu komponen utama smartphone yang memiliki siklus hidup relatif pendek adalah baterai lithium-ion (Li-ion). Baterai smartphone umumnya mengalami penurunan performa setelah 2–3 tahun pemakaian dan kemudian menjadi limbah elektronik (e-waste) yang berpotensi berbahaya bagi lingkungan.

Pemilihan baterai smartphone bekas sebagai objek analisis didasarkan pada beberapa alasan utama, yaitu:
1. Mengandung material bernilai tinggi seperti lithium, kobalt, dan nikel.
2. Termasuk limbah B3 yang berisiko mencemari tanah dan air.
3. Sistem alur balik (reverse logistics) di Indonesia masih terbatas dan belum terstruktur baik

Fokus utama analisis ini adalah menjawab pertanyaan:
“Apakah baterai smartphone bekas sudah memiliki sistem alur balik yang efektif di Indonesia, dan bagaimana potensi pengembangannya?”

2. Kondisi Saat Ini

2.1 Alur Maju (Forward Flow)

Alur distribusi baterai smartphone sebagai bagian dari produk smartphone secara umum adalah sebagai berikut:

Produsen Smartphone → Distributor Nasional → Ritel Resmi/Toko Online → Konsumen

Baterai terintegrasi langsung di dalam smartphone dan jarang dijual terpisah kepada konsumen.

2.2 Pengelolaan Limbah Saat Ini (Current State)

Berdasarkan hasil observasi umum dan riset daring, pengelolaan baterai smartphone bekas di Indonesia masih bersifat tidak terstruktur dan sebagian besar berada di sektor informal. Sebagian besar konsumen belum memiliki akses yang mudah terhadap sistem pengumpulan limbah elektronik yang aman dan berkelanjutan.

Indikator Catatan Hasil Observasi / Riset
Pihak yang Mengumpulkan Pemulung sektor informal, pengepul barang elektronik bekas, serta sebagian kecil produsen melalui service center resmi.
Alat / Infrastruktur Pengumpulan Infrastruktur pengumpulan masih terbatas. Beberapa kantor, pusat perbelanjaan, dan institusi tertentu menyediakan drop box limbah elektronik, namun jumlahnya belum merata dan sulit dijangkau oleh masyarakat luas.
Destinasi Akhir Baterai smartphone bekas umumnya dijual ke pengepul, disimpan di rumah oleh konsumen, atau dibuang bersama sampah rumah tangga ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Keberlanjutan Sistem Sistem pengumpulan belum berjalan secara rutin, kurang terintegrasi, dan tidak memberikan insentif yang menarik bagi konsumen untuk mengembalikan baterai bekas.

Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan baterai smartphone bekas di Indonesia belum mendukung penerapan reverse logistics secara optimal dan masih memerlukan perbaikan dari sisi regulasi, infrastruktur, serta kesadaran konsumen.

3. Analisis Potensi Alur Balik (Reverse Flow Potential)

3.1 Identifikasi Nilai (Value Recovery)

Nilai utama yang dapat ditangkap kembali dari baterai smartphone bekas adalah:

✅ Recycling / Daur Ulang (paling relevan)

Ekstraksi logam bernilai tinggi seperti lithium, kobalt, dan nikel.

Mengurangi ketergantungan pada bahan tambang baru.

Opsi reuse atau remanufaktur relatif terbatas karena degradasi performa baterai dan risiko keselamatan.

3.2 Usulan Alur Balik Ideal (Reverse Logistics Flow)

Diagram berikut menunjukkan alur balik ideal pengelolaan baterai smartphone bekas di Indonesia, yang dimulai dari konsumen sebagai titik inisiasi pengembalian hingga ke fasilitas daur ulang resmi untuk proses pemulihan nilai (value recovery).

Konsumen
(Mengembalikan baterai smartphone bekas)
Titik Pengumpulan Resmi
(Service center, ritel elektronik, bank sampah e-waste)
Pusat Penyortiran & Konsolidasi Regional
(Pemeriksaan, pemilahan, dan pengemasan ulang)
Fasilitas Daur Ulang Tersertifikasi
(Ekstraksi lithium, kobalt, dan material bernilai)

Alur balik ini menekankan peran aktif konsumen sebagai pemicu utama reverse logistics, serta pentingnya integrasi antara produsen, penyedia logistik, dan fasilitas daur ulang untuk menciptakan sistem yang efisien dan berkelanjutan.

4. Tantangan dan Rekomendasi

4.1 Tantangan Utama

1. Rendahnya Kesadaran Konsumen

Banyak konsumen tidak mengetahui bahwa baterai termasuk limbah B3 dan berbahaya jika dibuang sembarangan.

2. Biaya Logistik dan Infrastruktur

Pengumpulan baterai dalam jumlah kecil dan tersebar membuat biaya reverse logistics menjadi tinggi.

4.2 Rekomendasi Strategis

Rekomendasi:

Penerapan skema Extended Producer Responsibility (EPR) yang mewajibkan produsen smartphone menyediakan:

Drop box pengembalian baterai di service center,

Insentif nyata bagi konsumen,

Pelaporan pengelolaan e-waste secara transparan.


Strategi ini dapat meningkatkan partisipasi konsumen sekaligus membangun sistem reverse logistics yang berkelanjutan.

5. Penutup

Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa baterai smartphone bekas di Indonesia belum memiliki sistem reverse logistics yang efektif. Namun, potensi penerapannya sangat besar mengingat nilai material yang terkandung dan volume limbah yang terus meningkat. Dengan dukungan regulasi, kesadaran konsumen, dan keterlibatan produsen, alur balik baterai smartphone dapat menjadi bagian penting dari sistem Green Supply Chain Management dan ekonomi sirkular di Indonesia.

Tugas Terstruktur 11 - Analisis & Usulan Green Supply Chain

Analisis & Usulan Green Supply Chain Pada Produk Air Mineral Dalam Botol Plastik PET

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan konsumsi minuman kemasan, khususnya air mineral dalam botol plastik, terus meningkat seiring gaya hidup praktis masyarakat. Namun, di balik kemudahan tersebut, produk ini menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan, terutama dari penggunaan plastik berbasis bahan bakar fosil, konsumsi energi dalam produksi, serta masalah limbah pascakonsumsi.

Green Supply Chain Management (GSCM) hadir sebagai pendekatan strategis untuk mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam seluruh aktivitas rantai pasok, mulai dari pengadaan bahan baku hingga akhir masa pakai produk. Oleh karena itu, analisis rantai pasok air mineral kemasan menjadi relevan untuk mengidentifikasi titik kritis lingkungan dan merumuskan strategi perbaikan yang berkelanjutan.

1.2 Pemilihan Produk

Produk yang dianalisis adalah air mineral dalam botol plastik PET ukuran 600 ml, karena:
1. Merupakan produk dengan volume konsumsi tinggi,
2. Memiliki rantai pasok yang kompleks,
3. Menimbulkan isu lingkungan yang nyata, khususnya terkait limbah plastik.

2. Pemetaan Rantai Pasok Konvensional

2.1 Tahapan Rantai Pasok

Berikut pemetaan rantai pasok konvensional air mineral kemasan:

Pemetaan rantai pasok konvensional dilakukan untuk memahami alur material, informasi, dan produk pada air mineral dalam botol plastik PET 600 ml, mulai dari pengadaan bahan baku hingga akhir masa pakai produk. Pemetaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi tahapan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan terbesar.

Diagram Alir Rantai Pasok Konvensional

Pengadaan Bahan Baku
(Resin PET Virgin, Air Baku)

Produksi & Pengemasan
(Pengolahan Air, Pencetakan Botol, Pengisian)

Logistik Masuk & Keluar
(Transportasi Truk Diesel)

Distribusi & Ritel
(Gudang, Distributor, Toko)

Akhir Masa Pakai (End-of-Life)
(TPA / Daur Ulang Terbatas)


2.2 Penjelasan Setiap Tahapan

1. Pengadaan Bahan Baku (Sourcing)

Plastik PET berasal dari resin plastik virgin berbasis minyak bumi.

Air baku diambil dari sumber mata air atau air tanah dalam.

2. Produksi/Manufaktur

Proses meliputi pengolahan air, pencetakan botol, pengisian, dan pengemasan.

Menggunakan energi listrik dan air dalam jumlah besar.

3. Logistik Masuk & Keluar (Inbound/Outbound)

Bahan baku diangkut menggunakan truk diesel.

Produk jadi didistribusikan ke gudang regional.

4. Distribusi/Ritel

Produk dijual melalui distributor, minimarket, supermarket, dan pedagang kecil.

Menggunakan sistem logistik jarak jauh dengan frekuensi tinggi.

5. Akhir Masa Pakai (End-of-Life)

Botol plastik umumnya dibuang ke TPA.

Tingkat daur ulang masih rendah dan bergantung pada pemulung.

3. Analisis Dampak Lingkungan

Berdasarkan pemetaan di atas, terdapat dua titik kritis utama yang memberikan dampak lingkungan terbesar.

3.1 Titik Kritis 1: Pengadaan Bahan Baku

Masalah Lingkungan:

Penggunaan plastik PET virgin berbasis bahan bakar fosil.

Emisi karbon tinggi dari proses produksi resin plastik.

Ketergantungan pada sumber daya tak terbarukan.

3.2 Titik Kritis 2: Logistik dan Distribusi

Masalah Lingkungan:

Emisi CO₂ tinggi akibat penggunaan truk diesel jarak jauh.

Pengiriman dengan tingkat utilisasi muatan yang tidak optimal.

Kemacetan dan konsumsi bahan bakar berlebih.

4. Usulan Strategi Green Supply Chain Management (GSCM)

Berikut tiga strategi GSCM yang spesifik dan terukur untuk mengatasi dua titik kritis tersebut.

Strategi 1: Pengadaan Hijau (Green Sourcing)

Prinsip GSCM: Green Sourcing

Deskripsi Strategi:

Mengganti minimal 50% plastik PET virgin dengan plastik PET daur ulang (rPET) pada kemasan botol.

Implementasi:

Menjalin kemitraan jangka panjang dengan pemasok rPET lokal.

Investasi teknologi pemurnian rPET agar memenuhi standar food grade.

Penyesuaian desain botol agar kompatibel dengan rPET.

Manfaat Lingkungan:

Mengurangi konsumsi bahan bakar fosil.

Menurunkan emisi karbon dari produksi plastik.

Mengurangi volume limbah plastik yang berakhir di TPA.

Strategi 2: Logistik Hijau (Green Logistics)

Prinsip GSCM: Green Logistics

Deskripsi Strategi:

Optimalisasi rute distribusi dan peningkatan utilisasi muatan kendaraan.

Implementasi:

Menggunakan sistem route optimization berbasis teknologi digital.

Konsolidasi pengiriman untuk meningkatkan load factor truk.

Transisi bertahap ke kendaraan rendah emisi (Euro 4 atau listrik).

Manfaat Lingkungan:

Penurunan emisi CO₂ dari sektor transportasi.

Efisiensi konsumsi bahan bakar.

Penurunan biaya logistik jangka panjang.

Strategi 3: Reverse Logistics

Prinsip GSCM: Reverse Logistics

Deskripsi Strategi:

Membangun sistem pengumpulan kembali botol plastik pascakonsumsi.

Implementasi:

Program insentif pengembalian botol (deposit system).

Kerja sama dengan bank sampah dan UMKM daur ulang.

Edukasi konsumen mengenai pemilahan sampah.

Manfaat Lingkungan:

Meningkatkan tingkat daur ulang plastik.

Mengurangi beban TPA.

Mendorong ekonomi sirkular.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Analisis ini menunjukkan bahwa rantai pasok konvensional air mineral kemasan memiliki dampak lingkungan yang signifikan, terutama pada tahap pengadaan bahan baku dan logistik distribusi. Penerapan strategi GSCM seperti penggunaan rPET, logistik hijau, dan reverse logistics dapat secara efektif mengurangi dampak lingkungan sekaligus meningkatkan efisiensi operasional.

Rekomendasi:

Perusahaan produsen air mineral disarankan untuk mengintegrasikan prinsip GSCM secara menyeluruh dan menjadikannya bagian dari strategi bisnis jangka panjang, bukan sekadar pemenuhan regulasi.

Daftar Pustaka 

Srivastava, S. K. (2007). Green supply‐chain management: A state‐of‐the‐art literature review. International Journal of Management Reviews.

Zhu, Q., & Sarkis, J. (2004). Relationships between operational practices and performance among early adopters of green supply chain management. Journal of Operations Management.

Guide, V. D. R., & Van Wassenhove, L. N. (2009). The evolution of closed-loop supply chain research. Operations Research.

Tugas Mandiri 10 - Analisis Dokumenter Produksi Berkelanjutan

ESAI REFLEKTIF DAN DAFTAR IDE TERAPKAN PRODUKSI BERKELANJUTAN

A. Identitas Video dan Ringkasan

Judul Video: The Business Logic of Sustainability
Sumber: TED Talk / Presentasi Ray Anderson
Tahun: ± 2009
Tokoh Utama: Ray Anderson (Pendiri Interface Inc.)

Video The Business Logic of Sustainability menyampaikan transformasi mendasar dalam cara pandang dunia bisnis terhadap keberlanjutan. Ray Anderson, pendiri perusahaan karpet Interface, menceritakan perjalanannya mengubah perusahaan manufaktur konvensional menjadi pelopor industri berkelanjutan. Pesan utama video ini adalah bahwa keberlanjutan bukanlah beban biaya, melainkan strategi bisnis rasional yang mampu meningkatkan efisiensi, inovasi, dan daya saing jangka panjang. Video ini menekankan bahwa krisis lingkungan justru dapat menjadi pemicu inovasi industri menuju sistem produksi yang lebih bertanggung jawab.

B. Analisis Ide Kunci dan Penerapannya

Berikut adalah lima ide kunci yang paling relevan dan aplikatif dari video tersebut, beserta analisis penerapannya di berbagai sektor industri.

Ide 1: Mengubah Produk Menjadi Layanan (Product-as-a-Service)

Penjelasan Singkat:
Ray Anderson memperkenalkan konsep menjual fungsi produk, bukan kepemilikan produk itu sendiri. Interface tidak lagi hanya menjual karpet, tetapi menjual “layanan lantai” sehingga perusahaan tetap bertanggung jawab atas siklus hidup produk.

Sektor Industri Target:
Industri elektronik, furnitur, alat berat, dan otomotif.

Rencana Penerapan Praktis:
Perusahaan printer menawarkan layanan cetak berbasis langganan, di mana kartrid tinta tetap dimiliki perusahaan untuk memastikan pengumpulan dan daur ulang. Model ini mendorong desain produk yang lebih tahan lama dan mudah didaur ulang.

Ide 2: Life Cycle Thinking dalam Desain Produk

Penjelasan Singkat:
Keberlanjutan harus dipertimbangkan sejak tahap desain, termasuk bahan baku, proses produksi, distribusi, penggunaan, hingga akhir masa pakai produk.

Sektor Industri Target:
Manufaktur elektronik, otomotif, dan kemasan.

Rencana Penerapan Praktis:
Produk dirancang modular agar mudah diperbaiki dan didaur ulang. Contohnya, produsen smartphone merancang baterai yang mudah dilepas untuk memperpanjang umur produk dan mengurangi limbah elektronik.

Ide 3: Zero Waste dan Eliminasi Limbah sebagai Target Bisnis

Penjelasan Singkat:
Interface menetapkan target ambisius “zero waste” dan membuktikan bahwa pengurangan limbah dapat berjalan seiring dengan peningkatan profitabilitas.

Sektor Industri Target:
Manufaktur tekstil, makanan dan minuman, serta industri kimia.

Rencana Penerapan Praktis:
Limbah produksi dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku sekunder. Misalnya, sisa bahan tekstil digunakan untuk produk daur ulang atau disalurkan ke industri lain sebagai input produksi.

Ide 4: Keberlanjutan sebagai Sumber Inovasi dan Keunggulan Kompetitif

Penjelasan Singkat:
Ray Anderson menekankan bahwa keberlanjutan mendorong perusahaan untuk berinovasi lebih kreatif dalam proses dan produk.

Sektor Industri Target:
Startup manufaktur, industri energi, dan FMCG.

Rencana Penerapan Praktis:
Pengembangan produk ramah lingkungan dengan nilai tambah, seperti kemasan biodegradable atau produk dengan jejak karbon rendah yang dapat dijadikan diferensiasi merek.

Ide 5: Perubahan Mindset Kepemimpinan Industri

Penjelasan Singkat:
Transformasi menuju produksi berkelanjutan harus dimulai dari komitmen pimpinan perusahaan, bukan sekadar tuntutan regulasi.

Sektor Industri Target:
Semua sektor industri.

Rencana Penerapan Praktis:
Manajemen puncak menetapkan target keberlanjutan sebagai Key Performance Indicator (KPI) perusahaan dan mengintegrasikannya ke dalam strategi bisnis jangka panjang.

C. Kesimpulan dan Refleksi

Berdasarkan dokumenter The Business Logic of Sustainability, dapat disimpulkan bahwa Produksi Berkelanjutan merupakan kebutuhan mendesak di tengah krisis lingkungan global dan keterbatasan sumber daya alam. Video ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukanlah konsep idealis semata, melainkan strategi bisnis yang logis, terukur, dan menguntungkan secara ekonomi.

Secara pribadi, video ini memperkuat pandangan bahwa industri memiliki peran sentral dalam menciptakan perubahan sistemik. Sebagai mahasiswa Teknik Industri, konsep “logika bisnis keberlanjutan” membuka wawasan bahwa efisiensi, inovasi, dan tanggung jawab lingkungan dapat berjalan beriringan. Keberlanjutan bukan penghambat pertumbuhan, melainkan fondasi bagi keberhasilan industri di masa depan.

Tugas Terstruktur 10 - Analisis Kasus Implementasi Produksi Berkelanjutan

Studi Kasus: Unilever (Sektor Manufaktur - FMCG)

A. Profil Perusahaan dan Latar Belakang

Nama Perusahaan: Unilever

Sektor Industri: Manufaktur barang konsumsi cepat saji (Fast Moving Consumer Goods/FMCG)

Produk Utama: Produk makanan, minuman, perawatan rumah tangga dan personal care (misalnya Lifebuoy, Dove, Rinso, Sunsilk).

Unilever merupakan perusahaan multinasional yang beroperasi di lebih dari 190 negara, termasuk Indonesia melalui PT Unilever Indonesia Tbk. Perusahaan ini dikenal sebagai salah satu pionir dalam penerapan Produksi Berkelanjutan melalui program Unilever Sustainable Living Plan (USLP) dan komitmen keberlanjutan jangka panjangnya.

Motivasi utama Unilever mengadopsi Produksi Berkelanjutan meliputi:

1. Tekanan konsumen terhadap produk ramah lingkungan,

2. Efisiensi biaya jangka panjang,

3. Kepatuhan terhadap regulasi lingkungan,

4. Peningkatan citra merek dan daya saing global.

B. Strategi Keberlanjutan yang Digunakan

1. Transisi ke Energi Terbarukan dan Efisiensi Sumber Daya

Unilever menerapkan penggunaan energi terbarukan di fasilitas produksinya serta meningkatkan efisiensi energi dan air. Pabrik-pabrik Unilever secara bertahap beralih ke listrik dari sumber energi terbarukan dan mengoptimalkan proses produksi untuk mengurangi limbah.

Kaitan dengan SCP: Strategi ini mendukung Sustainable Production dengan mengurangi jejak lingkungan sepanjang proses produksi.

2. Penerapan Ekonomi Sirkular

Unilever mengimplementasikan konsep ekonomi sirkular melalui:

Pengurangan plastik murni (virgin plastic),

Penggunaan kemasan yang dapat didaur ulang,

Program pengumpulan kembali kemasan (waste take-back).

Kaitan dengan SCP: Mendorong Sustainable Consumption dengan mengajak konsumen berpartisipasi dalam pengelolaan limbah dan siklus hidup produk.

C. Indikator Keberlanjutan (Triple Bottom Line)

1. Indikator Lingkungan (Planet)

Pengurangan emisi karbon dari proses produksi melalui efisiensi energi.

Penurunan konsumsi air per unit produksi dengan sistem daur ulang air.

Komitmen zero waste to landfill di beberapa fasilitas produksi.

2. Indikator Ekonomi (Profit)

Penghematan biaya operasional dari efisiensi energi dan air.

Peningkatan penjualan produk “green product” yang memiliki nilai tambah di pasar.

Penguatan loyalitas konsumen terhadap merek yang berkelanjutan.

3. Indikator Sosial (People)

Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan tingkat kecelakaan kerja rendah

Pelatihan berkelanjutan bagi karyawan terkait keselamatan dan keberlanjutan.

Program pemberdayaan masyarakat dan UMKM lokal sebagai bagian dari rantai pasok.

D. Dampak dan Evaluasi Hasil

Dampak Positif

Implementasi Produksi Berkelanjutan di Unilever memberikan dampak signifikan dalam:

Penurunan dampak lingkungan,

Peningkatan kesejahteraan pekerja,

Kesadaran konsumen terhadap konsumsi berkelanjutan.

Tantangan

Tantangan terbesar yang dihadapi Unilever adalah:

Tingginya biaya awal investasi teknologi ramah lingkungan,

Perubahan perilaku konsumen dalam pengelolaan limbah produk.

Evaluasi (Kesimpulan Mahasiswa)

Menurut penulis, strategi Produksi Berkelanjutan yang diterapkan Unilever sudah cukup efektif dan komprehensif karena mencakup aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial secara seimbang. Namun, keberlanjutan sejati masih memerlukan konsistensi jangka panjang serta kolaborasi aktif antara perusahaan, pemerintah, dan konsumen.

Daftar Pustaka 

1. Unilever. Sustainability Report.

2. Unilever Official Website.

3. World Business Council for Sustainable Development (WBCSD).

Tugas Mandiri 15 - Ethical career Roadmap

 Mind Map Karier Insinyur Beretika